Showing posts with label menulis. Show all posts
Showing posts with label menulis. Show all posts

Saturday, November 6, 2010

Gadis langit dan lelaki awan (episode 3)

Matahari masih bersinar dengan begitu terangnya, membakar hingga ke lapisan terdalam kulitku. Peluh mengalir deras di sela-sela wajahku. Panas sekali. Tapi aku tak beranjak sedikit pun dari atap rusun ini. Jemuran pakaian penghuni rusun melambai-lambai di terpa angin kering yang menghembuskan debu. Indah sekali. Berwarna-warni bak pelangi walaupun pakaian-pakaian tersebut tidak dibeli di butik mahal dengan merk buatan perancang terkenal. Ya..hanya kumpulan pakaian-pakaian lusuh yang dibeli di pasar loakan. Namun, aku sangat menikmati pemandangan 'pelangi' pakaian para penghuni rusun tempat aku tinggal di Ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini.

Keringat terus mengucur deras dari tubuhku. Pakaianku basah dibanjiri keringat.Terang saja, saat ini pukul 2 siang, dan aku bak jagoan menantang matahari yang bersinar dengan cerahnya. Berjemur  di tengah hari bolong memang sudah menjadi kebiasaanku, terlebih lagi ketika aku masih berada di Papua. Tiap hari sepulang sekolah aku langsung berlari menuju bukit. Memandangi langit dan menikmati guyuran sinar matahari ditemani oleh kamera analog kesayangan bunda. Menikmati hembusan angin yang membelai rambut lurusku. Panas memang, namun udaranya tidak kering dan berdebu. Berbeda sekali dengan udara penuh polusi disini.

Namun,kali ini niatku berjemur bukanlah untuk menghitamkan kulitku seperti yang selalu kuharapkan. Aku hanya bosan dan rindu bercengkarama dengan alam. Di rumah susun ini, semuanya terlihat begitu menyesakkan. Tiap hari mendengar suara bising dari tetangga yang sibuk bertengkar dan memaki, atau mendengar bunyi klakson mobil yang memekkakan telinga. Nyanyian alam yang begitu kurindukan tak terdengar lagi.

Papua...

Aku merindukanmu dengan sangat...


***
Dua tahun aku berada di sana. Pulau yang berada di timur Indonesia dengan bentuk kepala burungnya. Papua. Pulau nan eksotis dengan segala kekayaan alam yang Allah anugerahkan kepadanya. Bukan hanya kekayaan alam yang menakjubkan setiap mata yang memandang yang ada di sana. Kekayaan tambang yang terpendam di dalam perutnya kerap membuat tangan-tangan kotor yang rakus senang membelek dan mengeluarkan isi perutnya demi mengisi perut sendiri yang tak kan pernah puas dan kenyang.

Papua..

Perasaanku padamu bak dua mata koin yang berbeda. Di satu sisi aku begitu mencintai segala keksotisan dan keindahan alammu. Namun di sisi lain, kenangan menyedihkan akan makna kesendirian dan keterasingan menggores luka dalam di hatiku. Disini. Di tempat ini..

Papua..

Bunda selalu bilang padaku bahwa di tempat baru terdapat pembelajaran baru. Terdapat pengalaman baru yang dapat kita petik hikmahnya. Namun, aku selalu membenci berada di tempat yang baru. Pertama, karena aku harus memperkenalkan nama anehku. Kedua, setiap berpindah tempat, aku dan bunda selalu berada di lingkungan dengan bahasa yang amat berbeda dengan bahasa tempat kami berada sebelumnya. Padang-Bandung-Malang-Lombok-dan kemudian Papua. Wajar saja jika sekarang aku tumbuh menjadi anak yang pendiam. Kebingungan bahasa merupakan hal biasa yang kerap aku alami ketika berpindah tempat. Apalagi kecerdasan linguistikku memang rendah, makanya sulit bagiku untuk menyusun kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat yang apik.

Berbeda sekali dengan bunda. Ia dapat dengan mudahnya menguasai berbagai macam bahasa yang ada di tempat kami tinggal. Bunda juga dapat mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan diriku.

Terkadang terpikir olehku, apakah aku benar-benar anak kandung bunda. Rasanya aku dan bunda benar-benar berbeda jauh bagaikan langit dan bumi. Bundalah sang langit dan aku buminya. Aah...seharusnya bundalah yang memiliki nama 'langit' karena bunda begitu mempesona dan membuat setiap yang mengenalnya akan kagum akan aura kelembutan yang dipancarkannya.

***
Berbeda...

Berbeda itu...

Sangat menyedihkan dan membuat sengasara..

Berbeda membuatmu merasa tidak ada artinya..

Berbeda membuatmu merasa seperti alien yang berasal dari planet nun jauh di antariksa..

Berbeda memaksamu berteman akrab dengan yang namanya RASA SEPI..

AKU BENCI MENJADI ORANG YANG BERBEDA!!

Di Papua inilah aku merasakan betul bagaimana sengsaranya menjadi orang yang berbeda. Walau bunda kerap menguatkanku dan memberikan kata-kata indah bak mantra yang penuh dengan muatan motivasi, namun tetap saja, aku tak bisa menerima diriku yang begitu berbeda.

"Langit, pelangi itu indah karena berbeda. Coba kamu bayangkan kalau pelangi memancarkan cahaya yang sama,merah semua, atau hijau semua,pasti tak akan terlihat seindah pelangi yang saat ini kita lihat" Kata bunda ketika kami sedang bersama memandangi indahnya pelangi dari atas bukit kecil kesayanganku. "Tapi bunda, cahaya pelangi yang berbeda terlihat indah karena mereka mau saling memahami dan menerima perbedaan yang ada. Mereka tidak keberatan untuk bersatu, menempel satu sama lain, berbeda dengan keadaan aku saat ini. Mereka menolak berada dekat-dekat denganku karena aku berbeda.." Jawabku atas pernyataan bunda barusan.

Bunda langsung terdiam. Kemudian ia memeluk sambil membelai rambut hitam lurusku dengan lembut. Pelukkannya yang hangat membuatku sejenak melupakan segala emosi yang membuncah di dalam dada. Pelukan bunda laksana angin lembut yang berhembus menenangkan ombak ganas yang berkecamuk di hatiku. Bunda mendekatkan mulutnya ke telingaku.

Ia membisikkan sesuatu.

Bunda memandangiku sambil tersenyum penuh arti. Cantik sekali. Walau kerutan-kerutan di wajahnya mulai terlihat, walau kantung mata mulai menggelayut di bawah kelopak matanya, kecantikan bunda masih terpancar jelas di wajahnya. Wajah putih yang bersinar karena sering terbasuh oleh air wudhu. Dua buah bola mata jernih karena sering dibasahi oleh tangisan di sepertiga malam terakhir. Dan bibir yang menawan karena senyuman indah yang selalu tersungging, seburuk apapun keadaan yang dilaluinya.

Bunda..kaulah langit indah yang menghiasi relung hatiku...

***
Aku masih bertahan di atas atap rusun tua ini. Masih menantang matahari dengan sinarnya yang sangat terik. Botol minum yang kubawa sudah habis tak bersisa. Kepalaku sudah mulai sakit karena terbakar oleh panasnya sang mentari. Tapi aku masih enggan untuk beranjak. Aku ingin menantang diriku sendiri, sejauh mana aku kuat menghadapi udara panas Jakarta. Walau nanti tubuhku harus tergeletak tak berdaya, aku tak peduli.

Kuacak-acak rambutku untuk mengurangi pening yang kurasakan. Sesekali aku duduk dan kemudian kembali merebahkan diri. Sudah hampir satu jam berada di atap ini, namun tubuh ini tidak juga pingsan. Padahal aku ingin tahu bagaimana rasanya pingsan.

Angin semilir berhembus menyapu tubuhku yang sudah lengket karena keringat. Angin semilir yang segar. Kupenjamkan mata, berusaha menikmati helaian angin semilir. Kubayangkan padang rumput hijau dan barisan pegunungan yang berdiri kokoh menjaganya. Kubayangkan diriku berada di sana.

Di tengah khayalanku, terdengar sayup-sayup suara.

"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'ahaa"

Aaah...

Lantunan ayat yang bunda bisikkan padaku ketika ia menenangkan diriku di atas bukit itu..

Lantunan itu berasal dari sumber suara yang tak asing di telingaku. Suara yang hampir seminggu ini menghiasi indera pendengaranku di sekolah. Suara yang sangat menenangkan dan membuat jiwa begitu tenteram.

Awan..

Aku bangkit dan menengok ke sekeliling. Ya..aku yakin bahwa suara yang kudengar barusan adalah suara Awan. Benar saja. Di arah jam 2 dari tempatku berada, duduk seorang anak laki-laki bertubuh gempal sambil memegang buku kecil berbentuk persegi panjang. Aku tau betul, itu adalah Al-Ma'surat, doa-doa yang disunahkan oleh Rasulullah untuk kita baca ketika pagi dan petang.  Aku dan bunda selalu membacanya ketika selesai melaksanakan shalat Subuh bersama.

Tiba-tiba bumi terasa berputar. Semuanya terlihat begitu kabur dan buram. Tak terasa tubuh ini pun meluncur jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Tubuhku benar-benar terkapar tak berdaya. Akhirnya, aku merasakan juga bagaimana rasanya pingsan..

***
Langit...

Langit...

Langit...

Terdengar sayup-sayup suara yang memanggilku. Kubuka mataku pelan-pelan. Kulihat Awan memandangiku dengan tatapan cemas. Tangannya yang satu memegang payung yang melindungiku dari sengatan sinar matahari. Wajahnya terlihat merah merona. Keringat bercucuran melewati kedua pipinya yang tembam.

"Alhamdulillah...kamu udah sadar" katanya dengan nada lega. Kemudian ia menyodorkan botol air minumnya kepadaku. "Ini,sepertinya kamu dehidrasi,untung tidak sampai terkena heat stroke" katanya. Kutegak botol minum yang Awan berikan padaku hingga habis tak bersisa. Awan masih memayungiku laksana pelayan yang melindungi putri dari bahaya sinar matahari.

"Ehm..terima kasih ya sudah menolongku" Kataku padanya

"Sama-sama" Jawabnya sambil tersenyum. Senyuman yang sama seperti yang kulihat setiap bel masuk dan bel pulang berbunyi.

" Oya..aku baru tau kalau kamu juga tinggal di rusun ini. Aku baru pindah hari ini, kamu sudah lama tinggal di sini?" Katanya. Ia masih terus memayungiku walaupun ia sendiri pun terlihat begitu kepanasan.

"Aku baru tiga bulan tinggal disini, oya kamu bisa berhenti memayungiku,aku sudah baik-baik saja kok". Aku tak tega melihat raut wajahnya yang bercucuran keringat karena memayungiku.

"Gak apa-apa kok. Daripada nanti pingsan lagi" balasnya.

Aku amat tersentuh dengan kebaikan hatinya. Ini pertama kalinya ada orang yang rela melakukan sesuatu demi aku selain bunda.

"Kamu sedang apa di sini?" Kataku berbasa-basi dengannya. Walaupun sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang ia lakukan, namun aku berhutang budi padanya dan merasa harus bersikap lebih baik dengannya.

"Aku?..Aku sedang asyik memandangimu.."

Asyik memandangiku?

Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar jawabannya itu.

***
(masih berlanjut)






















Sunday, October 31, 2010

Gadis langit dan lelaki awan (episode 2)

Langit hari ini terlihat begitu cerah. Birunya yang terang benderang begitu indah dihasi oleh kumpulan awan kumulus yang bertebaran dimana-mana. Mereka bergerumul layaknya sebuah gula-gula kapas putih besar yang membuat diriku sangat ingin untuk memakannya sampai habis. Mentari pun bersinar dengan teriknya menyinari kota Jakarta yang penuh dengan polusi. Walau panasnya membakar hingga ke pori-pori kulit sawo matangku, aku tak peduli. Aku ingin terus menerus menatap langit hari ini.


Aah...langit...kau begitu indah..


***

Hari ini sekolahku diliburkan karena guru-guru mengadakan rapat. Asyik sekali! Hari ini akhirnya aku terlepas dari mulut-mulut usil teman-teman sekelas yang sudah mulai teracuni oleh Aldo dan cecunguk-cecunguknya yang semakin gencar menjodohkan aku dengan si anak baru..

AWAN..

Sudah hampir seminggu ia duduk di sebelahku. Selama 3 bulan ini bangku di sebelahku itu selalu kosong. Kalaupun terisi, sudah pasti si Aldo yang sangat menjengkelkan yang berada di sana. Apalagi yang ia lakukan selain mengusiliku dan memancing emosiku. Dasar anak kurang kerajaan! Dan, berkat kehadiran Awan, si anak baru, tingkah laku Aldo semakin menjadi-jadi. Kemarin ia dan cecunguk-cecunguknya yang setia menaburkan sobekan-sobekan kertas ke kepalaku dan Awan sambil menyenandungkan nada-nada khas pernikahan. Alhasil rambutku dan rambut Awan dipenuhi oleh sobekan-sobekan kertas(yang sepertinya kertas ulangan matematika milik Aldo yang tadi dibagikan, nilainya 0!aku ingat sekali raut wajah kesalnya ketika diomeli oleh Bu Sofia, rasakan!!).

Awan ternyata sama tenangnya denganku dalam menghadapi Aldo. Ia tak pernah menunjukkan raut kesal ataupun marah, walaupun kini ia menjadi sasaran mulut usil Aldo cs. Dia malah masih bisa tersenyum pada Aldo (satu hal yang TIDAK AKAN AKU LAKUKAN) ketika Aldo mengejeknya dengan sebutan 'ikan buntal'.

AWAN..

Anak laki-laki bertubuh gempal yang sama pendiamnya dengan diriku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya apabila tidak ada hal penting yang harus disampaikan. Hanya "Assalamualikum" yang diringi dengan senyuman yang ia katakan ketika bel masuk dan bel pulang berbunyi.Selebihnya hanya jika ia butuh sesuatu baru ia berbicara denganku. Baguslah,toh kalau pun ia mengajakku berasa-basi aku hanya akan menjawab seadanya.

Waktu istirahat,kulihat Awan tidak pernah pergi ke kantin ataupun bermain bersama anak lain. Ia hanya duduk memakan bekal yang sudah ia bawa dari rumah. Agak kesal juga melihatnya asyik makan sendiri di tempat duduk kami,karena tadinya itu adalah tempat favoritku ketika menghabiskan bekal yang kubawa dari rumah.Sejak dulu aku memang tidak pernah memakan jajanan dikantin, selalu bekal buatan bunda yang menemani waktu istirahatku. Aku sangat beruntung memiliki bunda yang cantik sekaligus pintar masak. Bunda selalu membuatkan masakan yang enak dan bergizi untukku, terima kasih bundaku sayang.

Tapi,kali ini masakan enak buatan bunda tidak dapat aku habiskan di kelas, karena si murid baru itu sudah mengambil 'lahan' yang biasa kugunakan. Terpaksa aku harus mencari lahan baru untuk makan.Yang pasti sejauh mungkin dari Aldo cs, jangan sampai selera makanku hilang karena tingkah laku aneh dan super duper menyebalkan dari si Aldo beserta pengikutnya yang setia.

Aku mulai mengelilingi bangunan sekolah yang sudah 3 bulan terakhir ini kusebut sebagai sekolahku. Berkeliling, celingak-celinguk sana-sini mencari tempat yang nyaman dan sepi  agar dapat  melahap masakan bunda yang super lezat. Kemana ya,pikirku. Kamar mandi?ah tidak..terlalu jorok!tidak akan berselera makan di sana. Pinggir lapangan? terlalu ramai. Dimana...dimana..dimana...dimana tempat yang nyaman untuk makan tanpa diganggu oleh siapapun??

Hampir 15 menit aku berkeliling sekolah kecil yang agak tua ini. Tetap saja tidak menemukan tempat yang sreg untuk makan. Bel masuk akan berdering 15 menit lagi, sedangkan bekal makananku belum kusentuh sedikitpun. Akhirnya aku menyerah, sepertinya memang dikelaslah tempat paling aman untuk makan, jauh dari keramaian dan gangguan Aldo dkk(tiap istirahat ia PASTI ke kantin dan bermain di lapangan bersama anak laki-laki lain).

Sesampainya ku di kelas, ku lihat Awan sudah tidak lagi melahap bekalnya. Ia sedang berkonsentrasi membaca sebuah buku kecil bercover hitam. Sorot matanya terlihat begitu serius memandangi buku kecil yang ia baca. Mulutnya berkomat-kamit. Sayup-sayup terdengar suaranya yang lirih..

"Fabbi ayyi alaa irabbikuma tukadziiban"

Suara lantunan ayat suci yang keluar dari mulutnya...
Surat Ar-Rahman..
Salah satu satu surat favorit bunda..

AWAN...

Anak baru yang yang begitu berbeda dan langka. Ini kali pertama aku melihat seorang anak laki-laki yang begitu khusyunya melantunkan ayat suci. Seorang anak seumuranku yang sudah begitu fasih membaca Al-Quran. Walaupun suaranya terdengar lirih, namun bacaannya begitu syahdu dan menenangkan hati, mengingatkanku pada bacaan tilawah bunda.

AWAN...

Kau memang begitu berbeda...

***

Udara panas kota Jakarta masih terus berhembus di atap rumah susun yang kini menjadi rumah baruku. Aku masih terus menatap langit sambil merebahkan diriku di tempat yang biasa dijadikan tempat menjemur pakaian oleh Ibu-Ibu penguhuni rusun. Atap rusun inilah satu-satunya tempat yang dapat membuatku leluasa melakukan kebiasaanku dikala bosan, menatap langit.

Walaupun aku membeci namaku, namun aku tidak pernah membeci 'langit' yang sesungguhnya. Bahkan sebaliknya, aku sangat suka memandangi langit yang begitu luas dan indah ini. Langit yang cerah bertabur awan. Langit yang kelam bertabur bintang. Langit yang begitu memesona. Langit yang selalu membuatku terpana. Langit yang membuatku dapat melupakan semua rasa kesepian yang selalu menghampiri. Rasa sepi dan sendiri..

Langit memang selalu membuatku dan bunda terpukau. Ia terbentang begitu luas dan berdiri tanpa tiang. Bunda bilang, Allah SWT sengaja menciptakan langit yang begitu indah dan menghiasnya untuk manusia.

"Langit sayang..coba kau hadapkan wajahmu ke atas langit ketika kau merasa sedih ataupun kesepian. Pandangilah langit dan kau akan merasakan bahwa betapa dirimu adalah tidak pernah sendiri dan kau begitu dicintai oleh Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.Langit adalah bukti cinta Allah kepada kita. Ia menciptakan langit dan menghiasnya untuk kita, manusia yang begitu kecil dihadapan-Nya. Oleh karena itu sayang..jangan pernah merasa sendiri..karena engkau, wahai anakku yang amat kucintai karena Allah, selalu dinaungi oleh cinta-Nya"

Itulah kata-kata yang bunda sampaikan padaku ketika kami masih berada di Papua. Aku dan bunda memandangi langit bersama-sama di bukit kecil yang berada di belakang rumah kami. Udara dingin pegunungan yang menusuk sampai ke tulang tak kami pedulikan. Genggaman tangan bunda yang begitu erat sudah cukup menghangatkan tubuhku. Bintang yang bertebaran dan langit yang begitu bersih tanpa polusi membuat kami tidak peduli dengan apapun yang terjadi di sekitar kami. Tak peduli beberapa nyamuk dan serangga sudah  datang menghampiri dan tak peduli akan masalah-masalah rumit yang sedang kami hadapi.

Aah..langit...aku dan bunda selalu mencintaimu...


(masih bersambung)


Friday, October 29, 2010

Gadis langit dan lelaki awan (episode 1)

" Aku benar-benar suka langit"

Kata-katanya begitu mantap. Matanya berkilat-kilat menunjukkan tanda keseriusan. Wajahnya mendongak ke atas, menatap langit yang begitu dicintainya. Senyuman lebar merekah diantara kedua pipi merah meronanya yang tembam.

Dan, tanpa kusadari, wajahku pun berubah merah padam, tersipu malu mendengar pernyataannya barusan. Walaupun kusadari betul, kata-kata barusan bukan ditujukkan untukku, namun untuk 'langit' dalam arti yang sebenar-benarnya. Namun, aku tak peduli. Orang yang dilanda cinta memang kadang tak berlogika bukan?Itu yang kupelajari dari sinetron-sinetron di televisi.

***

Aku benci namaku. Benci!Benci!Benci sekali! kenapa bunda harus memberiku nama sekonyol itu. Rasanya bunda enggan bersusah payah untuk mencarikan sebuah nama untukku di kala aku lahir. Begitu simpelnya satu kata yang menjadi namaku itu. LANGIT. Ya..aku anak perempuan dan namaku adalah LANGIT. Hanya LANGIT! tidak ada embel-embel apapun di depan maupun di belakangnya. Tidak ada tambahan 'Siti', 'Nur' atau nama lain apalah yang dapat menunjukkan jati diriku sebagai anak perempuan. Begitu singkat namaku itu...

LANGIT!

Selama 1 tahun terakhir ini, aku sedang gencar-gencarnya berusaha membujuk bunda untuk mengganti namaku. "Ayolah bundaaa..LANGIT itu nama yang aneh, bunda gak tau sih gimana gak enaknya diejek dan dicemooh gara-gara nama aneh ini!" rayuan maut kulancarkan ketika bunda sedang asyik bercengkrama dengan 'noona', laptop kesayangannya.

Bunda menghentikan gerakan jemari indahnya yang sedari tadi beradu dengan huruf-huruf yang ada pada keyboard si 'noona'.Bunda menoleh padaku, lantas kemudian memegang kedua pipiku dengan begitu lembut sambil menatap wajahku lamat-lamat. Ah! lagi-lagi bunda mengeluarkan jurus mautnya agar membuat diriku luluh dan tersihir dengan kata-kata apapun yang akan bunda sampaikan.

"Langit sayang.." Bunda mulai mengeluarkan suaranya yang lembut.

Aku tau betul apa yang akan bunda katakan, kata-kata sama yang kerap digunakan untuk menentramkan hatiku dikala aku gundah gulana dengan nama anehku ini. Kali ini aku tidak boleh kalah dengan kata-kata bunda yang kerap menyihirku. Aku sudah muak dengan nama ini. LANGIT..BAH!

Kulepaskan genggaman kedua tangan lembut bunda. kemudian kuletakkan kedua tanganku pada pipi bunda yang begitu tirus. Bunda terlihat kaget. Ini kali pertama aku melakukan hal tersebut. Biasanya aku hanya diam dan pasrah mendengar kata-kata bunda yang begitu menggetarkan hati. Kata-kata bunda yang kemudian membuatku dapat mengangkat kepala kepada dunia dan berkata "HEY!Namaku LANGIT!NAMA YANG INDAH BUKAN?".

Namun tak berlangsung lama sihir dari kata-kata bunda mempengaruhiku. Apalagi ketika rombongan Aldo dkk sudah mulai melontarkan ejekan-ejekan menyebalkannya padaku, rasanya ingin kubuang sejauh mungkin nama aneh ini.

"Bunda! Aku sudah besar. Aku sudah 11 tahun bunda. Aku tidak mau seumur hidup diejek dan dicemooh gara-ara nama yang aneh ini..pokonya aku mau ganti nama!Ini semua salah bunda!Kenapa bunda harus memberikanku nama yang aneh!Kenapa tidak memberiku nama seperti anak-anak yang lain?!kenapa harus LANGIT!kenapa bukan Marisa, Tasya, Nadia,Dina, KENAPA BUNDA?"

Kuluapkan amarahku yang sedari pagi kutahan. Aku memang anak yang penakut. Diejek, diusili, dicemooh separah apapun, aku hanya diam dan tak bergeming. Hal inilah yang membuat Aldo dan cecunguk-cecunguknya begitu betah menjailiku. Aku memang anak yang penakut dan pendiam. Tak pernah sekalipun aku berani mengungkapkan perasaan yang membuncah di dalam hati. Sedih, Marah, Kesal,biasanya kusimpan sendiri. SENDIRI. Tanpa ada teman yang dapat diajak berbagi.

Yaa..karena saking seringnya berpindah rumah, aku pun jadi lupa bagaimana caranya bersosialisasi. Hampir tiap setahun sekali aku dan bunda berpindah tempat, dari satu daerah ke daerah lain. Bunda selalu bilang " Di tempat baru kita akan menemukan pembelajaran baru langit..".

Yayayaya..bagiku tempat baru adalah masalah baru karena aku harus berpindah-pindah sekolah dan memperkenalkan namaku yang aneh ini. Dan disinilah aku sekarang. Semakin merana di tengah-tengah gencetan anak yang tak berotak.

Air mata jatuh membasahi kedua pipiku. Ini pertama kalinya aku menangis di depan bunda. Dan yang paling tak kusangka adalah, buliran air mata itu juga jatuh dari kedua bola mata bunda yang indah.

Bunda turut menangis bersamaku.

***

Hari ini kelas kami akan kedatangan murid baru. Anak-anak cowok yang tak berotak (Aldo dan cecunguk-cecunguknya) ribut membicarakan anak baru tersebut. Mereka bertaruh apakah anak baru tersebut laki-laki atau perempuan. Mereka ribut sekali!Berisik!Aku tidak lagi dapat berkonsentrasi dengan novel yang sedang kubaca.Tiba-tiba, Aldo yang kurus kering dan berkulit gelap itu mendatangiku bersama cecunguk-cecunguknya (Cahyo dan Abdul). Dengan senyuman yang menyebalkan ia duduk di bangku depanku. Tiba-tiba saja ia merampas novel yang sedang kubaca dan mengibas-ngibaskan novelku ke udara. Aku hanya diam tanpa ekspresi.

Ku tatap wajah Aldo dengan tatapan penuh kebencian dan kuambil novelku yang lain dari laci mejaku. Aldo terlihat kesal melihatku yang tidak terpengaruh dengan tingkah lakunya yang sangat menyebalkan itu. Ia kembali merebut novelku dan mengibas-ngibaskan kedua novelku di udara. Aku masih diam dan menatap Aldo dengan tatapan dingin. Terserah!Aku tak peduli dengan apa yang akan kau lakukan, anak konyol!pikirku dalam hati. Aku sudah bersumpah dalam hati, seusil apapun tingkah lakunya padaku, aku tetap tidak akan menunjukkan raut muka kesal dan ekspresi apapun. Karena kalau aku menunjukkan wajah marah dan melawannya, ia akan senang. Karena itulah tujuannya melakukan tindakan-tindakan menyebalkan itu, membuatku marah dan meledak-ledak. Namun aku telah bersumpah bahwa AKU TIDAK AKAN MARAH!

Wajah hitam Aldo terlihat semakin hitam karena marah. Ia begitu kesal karena lagi-lagi hari ini ia gagal membuatku terpancing amarahnya. Ia melemparkan kedua novelku ke arah pintu. TEPAT ketika Ibu Sofia masuk bersama anak baru. Wajah Ibu Sofia merah padam saking marahnya. Bagaimana tidak marah, ia disambut dengan sambitan dua buah buku novel dari anak muridnya yang paling nakal seantero sekolah.

Ibu Sofia memanggil Aldo dengan suara yang menggelagar layaknya petir yang menyambar di siang hari bolong. Ia meminta Aldo untuk menemuinya setelah kelas usai. Wajah Aldo kini berubah pucat pasi. Rasakan!Pikirku dalam hati. Akhirnya Aldo mendapatkan ganjaran dari Allah SWT atas kelakuan jahatnya padaku. Aku pun tersenyum penuh kemenangan.

Ibu Sofia pun melanjutkan kelas dengan memperkenalkan murid baru. Anak yang berperawakan gemuk. Pipinya tembam dengan perut yang buncit. Bajunya terlihat begitu sempit saking besarnya perut yang ia miliki. Kulitnya putih bersih, layaknya orang keturunan tionghoa. Namun matanya tidak sipit.Hidungnya agak macung dan bibirnya tipis.

Namanya?

Aah..namanya itulah yang membuatku sengasara di kemudian hari.

Muhhamad Fatih al-Awani

Paggilannya..

AWAN!

Indah sekali!Bagaikan tertimpa pohon durian beserta durian-duriannya, hari itu juga muncullah pasangan yang sangat serasi di kelas kami. Ya...LANGIT dan AWAN, dua hal yang selalu bersama dan tak terpisahkan. Pasangan yang muncul akibat 'jasa' dari mak comblang yang paling kubenci seantero jagat raya, ALDO!

Ibu Sofia meminta Awan untuk duduk di sebelahku. SIAL!Kenapa harus disebelahku! Aldo dan anak-anak lainnya sibuk menggodaku dengan "cieee..cieee", "ihiiiiy...ihiiy","asiiik niye.." dan perkataan-perkataan yang tak jelas dan sangaaaat menyebalkan. Aku masih dengan ekspresiku yang biasa. Diam dan Dingin.

Awan duduk di sebelahku. Uuuh. Badannya bulat sekali, pikirku. Persis seperti buntalan awan kumulus yang bergerumul ketika langit cerah menaungi kota. Awan menoleh kepadaku dan tersenyum.

"Assalamualaikum" katanya. Pipinya yang kemerahan terlihat sangat bulat seperti bakpao.

***

(Bersambung)  



*Bismillah..nyoba-nyoba buat cerpen..smoga bisa kelar sampai tamat..amiin..SEMANGAT NULIS!

 

Sunday, December 6, 2009

tulislah...dan biarkan dunia memandangmu

Tulislah…tulislah dan tulislah….

Jika engkau ingin dunia mengenalmu….tulislah

Jika engkau ingin berbagi kepada dunia…tulislah
Jika engkau ingin menggemparkan dunia….tulislah
Jika engkau ingin berbuat sesuatu untuk dunia….tulislah

Tidak peduli apa kata orang…


Tid
ak peduli mereka berkata apa…

Tulislah


Sudah cukup mereka mengekang kata-kata mu…

Sudah cukup mereka mengunci lisan mu….
Sudah cukup mereka membuat lidahmu kelu…
Sudah cukup….

Tak perlu lagi engkau malu untuk mengungkapkan..

Tak perlu engkau takut untuk menyuarakan…
Tak perlu engkau ragu untuk mengekspresikan apa yang engkau rasakan….

Tulislah….


Katakan pada dunia bahwa engkau bisa…

Katakan pada dunia engkau BISA….
Katakan pada dunia engkau dapat melakukannya….

AKU BISA MENYUARAKAN PIKIRANKU MELALUI TULISAN-TULISANKU!!!


AKU BISA MENGUBAH DUNIA DENGAN TULISAN-TULISANKU!!!


AKU BISA MEMBANGUNKAN SINGA-SINGA YANG TERTIDUR DI

HATI MANUSIA- MANUSIA INDONESIA DENGAN TULISANKU!!!


AKU BISA MEMBUKA HATIKU DENGAN TULISANKU!!!


AKU BISA MENDAPATKAN RIDHA ILAHI DENGAN TULISANKU!!!!


AKU BISA….

BILA AKU MAU…

Teruslah menulis diriku..


Tak peduli orang lain mencemoohku…tak peduli mereka tak menyukai karyaku…ku akan terus menulis…


Akan kujadikan batu bata yang mereka lempar padaku menjadi pondasi bagi hati ku yang kokoh….


Akan kubuktikan pada mereka bahwa aku BISA menjadi PENULIS….