Matahari masih bersinar dengan begitu terangnya, membakar hingga ke lapisan terdalam kulitku. Peluh mengalir deras di sela-sela wajahku. Panas sekali. Tapi aku tak beranjak sedikit pun dari atap rusun ini. Jemuran pakaian penghuni rusun melambai-lambai di terpa angin kering yang menghembuskan debu. Indah sekali. Berwarna-warni bak pelangi walaupun pakaian-pakaian tersebut tidak dibeli di butik mahal dengan merk buatan perancang terkenal. Ya..hanya kumpulan pakaian-pakaian lusuh yang dibeli di pasar loakan. Namun, aku sangat menikmati pemandangan 'pelangi' pakaian para penghuni rusun tempat aku tinggal di Ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini.
Keringat terus mengucur deras dari tubuhku. Pakaianku basah dibanjiri keringat.Terang saja, saat ini pukul 2 siang, dan aku bak jagoan menantang matahari yang bersinar dengan cerahnya. Berjemur di tengah hari bolong memang sudah menjadi kebiasaanku, terlebih lagi ketika aku masih berada di Papua. Tiap hari sepulang sekolah aku langsung berlari menuju bukit. Memandangi langit dan menikmati guyuran sinar matahari ditemani oleh kamera analog kesayangan bunda. Menikmati hembusan angin yang membelai rambut lurusku. Panas memang, namun udaranya tidak kering dan berdebu. Berbeda sekali dengan udara penuh polusi disini.
Namun,kali ini niatku berjemur bukanlah untuk menghitamkan kulitku seperti yang selalu kuharapkan. Aku hanya bosan dan rindu bercengkarama dengan alam. Di rumah susun ini, semuanya terlihat begitu menyesakkan. Tiap hari mendengar suara bising dari tetangga yang sibuk bertengkar dan memaki, atau mendengar bunyi klakson mobil yang memekkakan telinga. Nyanyian alam yang begitu kurindukan tak terdengar lagi.

Papua..
Perasaanku padamu bak dua mata koin yang berbeda. Di satu sisi aku begitu mencintai segala keksotisan dan keindahan alammu. Namun di sisi lain, kenangan menyedihkan akan makna kesendirian dan keterasingan menggores luka dalam di hatiku. Disini. Di tempat ini..
Papua..
Bunda selalu bilang padaku bahwa di tempat baru terdapat pembelajaran baru. Terdapat pengalaman baru yang dapat kita petik hikmahnya. Namun, aku selalu membenci berada di tempat yang baru. Pertama, karena aku harus memperkenalkan nama anehku. Kedua, setiap berpindah tempat, aku dan bunda selalu berada di lingkungan dengan bahasa yang amat berbeda dengan bahasa tempat kami berada sebelumnya. Padang-Bandung-Malang-Lombok-dan kemudian Papua. Wajar saja jika sekarang aku tumbuh menjadi anak yang pendiam. Kebingungan bahasa merupakan hal biasa yang kerap aku alami ketika berpindah tempat. Apalagi kecerdasan linguistikku memang rendah, makanya sulit bagiku untuk menyusun kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat yang apik.
Berbeda sekali dengan bunda. Ia dapat dengan mudahnya menguasai berbagai macam bahasa yang ada di tempat kami tinggal. Bunda juga dapat mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan diriku.
Terkadang terpikir olehku, apakah aku benar-benar anak kandung bunda. Rasanya aku dan bunda benar-benar berbeda jauh bagaikan langit dan bumi. Bundalah sang langit dan aku buminya. Aah...seharusnya bundalah yang memiliki nama 'langit' karena bunda begitu mempesona dan membuat setiap yang mengenalnya akan kagum akan aura kelembutan yang dipancarkannya.
Keringat terus mengucur deras dari tubuhku. Pakaianku basah dibanjiri keringat.Terang saja, saat ini pukul 2 siang, dan aku bak jagoan menantang matahari yang bersinar dengan cerahnya. Berjemur di tengah hari bolong memang sudah menjadi kebiasaanku, terlebih lagi ketika aku masih berada di Papua. Tiap hari sepulang sekolah aku langsung berlari menuju bukit. Memandangi langit dan menikmati guyuran sinar matahari ditemani oleh kamera analog kesayangan bunda. Menikmati hembusan angin yang membelai rambut lurusku. Panas memang, namun udaranya tidak kering dan berdebu. Berbeda sekali dengan udara penuh polusi disini.
Namun,kali ini niatku berjemur bukanlah untuk menghitamkan kulitku seperti yang selalu kuharapkan. Aku hanya bosan dan rindu bercengkarama dengan alam. Di rumah susun ini, semuanya terlihat begitu menyesakkan. Tiap hari mendengar suara bising dari tetangga yang sibuk bertengkar dan memaki, atau mendengar bunyi klakson mobil yang memekkakan telinga. Nyanyian alam yang begitu kurindukan tak terdengar lagi.
Papua...
Aku merindukanmu dengan sangat...
Aku merindukanmu dengan sangat...

***
Dua tahun aku berada di sana. Pulau yang berada di timur Indonesia dengan bentuk kepala burungnya. Papua. Pulau nan eksotis dengan segala kekayaan alam yang Allah anugerahkan kepadanya. Bukan hanya kekayaan alam yang menakjubkan setiap mata yang memandang yang ada di sana. Kekayaan tambang yang terpendam di dalam perutnya kerap membuat tangan-tangan kotor yang rakus senang membelek dan mengeluarkan isi perutnya demi mengisi perut sendiri yang tak kan pernah puas dan kenyang.Papua..
Perasaanku padamu bak dua mata koin yang berbeda. Di satu sisi aku begitu mencintai segala keksotisan dan keindahan alammu. Namun di sisi lain, kenangan menyedihkan akan makna kesendirian dan keterasingan menggores luka dalam di hatiku. Disini. Di tempat ini..
Papua..
Bunda selalu bilang padaku bahwa di tempat baru terdapat pembelajaran baru. Terdapat pengalaman baru yang dapat kita petik hikmahnya. Namun, aku selalu membenci berada di tempat yang baru. Pertama, karena aku harus memperkenalkan nama anehku. Kedua, setiap berpindah tempat, aku dan bunda selalu berada di lingkungan dengan bahasa yang amat berbeda dengan bahasa tempat kami berada sebelumnya. Padang-Bandung-Malang-Lombok-dan kemudian Papua. Wajar saja jika sekarang aku tumbuh menjadi anak yang pendiam. Kebingungan bahasa merupakan hal biasa yang kerap aku alami ketika berpindah tempat. Apalagi kecerdasan linguistikku memang rendah, makanya sulit bagiku untuk menyusun kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat yang apik.
Berbeda sekali dengan bunda. Ia dapat dengan mudahnya menguasai berbagai macam bahasa yang ada di tempat kami tinggal. Bunda juga dapat mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Berbeda sekali dengan diriku.
Terkadang terpikir olehku, apakah aku benar-benar anak kandung bunda. Rasanya aku dan bunda benar-benar berbeda jauh bagaikan langit dan bumi. Bundalah sang langit dan aku buminya. Aah...seharusnya bundalah yang memiliki nama 'langit' karena bunda begitu mempesona dan membuat setiap yang mengenalnya akan kagum akan aura kelembutan yang dipancarkannya.
***
Berbeda...
Berbeda itu...
Sangat menyedihkan dan membuat sengasara..
Berbeda membuatmu merasa tidak ada artinya..
Berbeda membuatmu merasa seperti alien yang berasal dari planet nun jauh di antariksa..
Berbeda memaksamu berteman akrab dengan yang namanya RASA SEPI..
AKU BENCI MENJADI ORANG YANG BERBEDA!!
Di Papua inilah aku merasakan betul bagaimana sengsaranya menjadi orang yang berbeda. Walau bunda kerap menguatkanku dan memberikan kata-kata indah bak mantra yang penuh dengan muatan motivasi, namun tetap saja, aku tak bisa menerima diriku yang begitu berbeda.
"Langit, pelangi itu indah karena berbeda. Coba kamu bayangkan kalau pelangi memancarkan cahaya yang sama,merah semua, atau hijau semua,pasti tak akan terlihat seindah pelangi yang saat ini kita lihat" Kata bunda ketika kami sedang bersama memandangi indahnya pelangi dari atas bukit kecil kesayanganku. "Tapi bunda, cahaya pelangi yang berbeda terlihat indah karena mereka mau saling memahami dan menerima perbedaan yang ada. Mereka tidak keberatan untuk bersatu, menempel satu sama lain, berbeda dengan keadaan aku saat ini. Mereka menolak berada dekat-dekat denganku karena aku berbeda.." Jawabku atas pernyataan bunda barusan.
Bunda langsung terdiam. Kemudian ia memeluk sambil membelai rambut hitam lurusku dengan lembut. Pelukkannya yang hangat membuatku sejenak melupakan segala emosi yang membuncah di dalam dada. Pelukan bunda laksana angin lembut yang berhembus menenangkan ombak ganas yang berkecamuk di hatiku. Bunda mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Ia membisikkan sesuatu.
Bunda memandangiku sambil tersenyum penuh arti. Cantik sekali. Walau kerutan-kerutan di wajahnya mulai terlihat, walau kantung mata mulai menggelayut di bawah kelopak matanya, kecantikan bunda masih terpancar jelas di wajahnya. Wajah putih yang bersinar karena sering terbasuh oleh air wudhu. Dua buah bola mata jernih karena sering dibasahi oleh tangisan di sepertiga malam terakhir. Dan bibir yang menawan karena senyuman indah yang selalu tersungging, seburuk apapun keadaan yang dilaluinya.
Bunda..kaulah langit indah yang menghiasi relung hatiku...
Berbeda itu...
Sangat menyedihkan dan membuat sengasara..
Berbeda membuatmu merasa tidak ada artinya..
Berbeda membuatmu merasa seperti alien yang berasal dari planet nun jauh di antariksa..
Berbeda memaksamu berteman akrab dengan yang namanya RASA SEPI..
AKU BENCI MENJADI ORANG YANG BERBEDA!!
Di Papua inilah aku merasakan betul bagaimana sengsaranya menjadi orang yang berbeda. Walau bunda kerap menguatkanku dan memberikan kata-kata indah bak mantra yang penuh dengan muatan motivasi, namun tetap saja, aku tak bisa menerima diriku yang begitu berbeda.
"Langit, pelangi itu indah karena berbeda. Coba kamu bayangkan kalau pelangi memancarkan cahaya yang sama,merah semua, atau hijau semua,pasti tak akan terlihat seindah pelangi yang saat ini kita lihat" Kata bunda ketika kami sedang bersama memandangi indahnya pelangi dari atas bukit kecil kesayanganku. "Tapi bunda, cahaya pelangi yang berbeda terlihat indah karena mereka mau saling memahami dan menerima perbedaan yang ada. Mereka tidak keberatan untuk bersatu, menempel satu sama lain, berbeda dengan keadaan aku saat ini. Mereka menolak berada dekat-dekat denganku karena aku berbeda.." Jawabku atas pernyataan bunda barusan.
Bunda langsung terdiam. Kemudian ia memeluk sambil membelai rambut hitam lurusku dengan lembut. Pelukkannya yang hangat membuatku sejenak melupakan segala emosi yang membuncah di dalam dada. Pelukan bunda laksana angin lembut yang berhembus menenangkan ombak ganas yang berkecamuk di hatiku. Bunda mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Ia membisikkan sesuatu.
Bunda memandangiku sambil tersenyum penuh arti. Cantik sekali. Walau kerutan-kerutan di wajahnya mulai terlihat, walau kantung mata mulai menggelayut di bawah kelopak matanya, kecantikan bunda masih terpancar jelas di wajahnya. Wajah putih yang bersinar karena sering terbasuh oleh air wudhu. Dua buah bola mata jernih karena sering dibasahi oleh tangisan di sepertiga malam terakhir. Dan bibir yang menawan karena senyuman indah yang selalu tersungging, seburuk apapun keadaan yang dilaluinya.
Bunda..kaulah langit indah yang menghiasi relung hatiku...
***
Aku masih bertahan di atas atap rusun tua ini. Masih menantang matahari dengan sinarnya yang sangat terik. Botol minum yang kubawa sudah habis tak bersisa. Kepalaku sudah mulai sakit karena terbakar oleh panasnya sang mentari. Tapi aku masih enggan untuk beranjak. Aku ingin menantang diriku sendiri, sejauh mana aku kuat menghadapi udara panas Jakarta. Walau nanti tubuhku harus tergeletak tak berdaya, aku tak peduli.
Kuacak-acak rambutku untuk mengurangi pening yang kurasakan. Sesekali aku duduk dan kemudian kembali merebahkan diri. Sudah hampir satu jam berada di atap ini, namun tubuh ini tidak juga pingsan. Padahal aku ingin tahu bagaimana rasanya pingsan.
Angin semilir berhembus menyapu tubuhku yang sudah lengket karena keringat. Angin semilir yang segar. Kupenjamkan mata, berusaha menikmati helaian angin semilir. Kubayangkan padang rumput hijau dan barisan pegunungan yang berdiri kokoh menjaganya. Kubayangkan diriku berada di sana.
Di tengah khayalanku, terdengar sayup-sayup suara.
"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'ahaa"
Aaah...
Lantunan ayat yang bunda bisikkan padaku ketika ia menenangkan diriku di atas bukit itu..
Lantunan itu berasal dari sumber suara yang tak asing di telingaku. Suara yang hampir seminggu ini menghiasi indera pendengaranku di sekolah. Suara yang sangat menenangkan dan membuat jiwa begitu tenteram.
Awan..
Aku bangkit dan menengok ke sekeliling. Ya..aku yakin bahwa suara yang kudengar barusan adalah suara Awan. Benar saja. Di arah jam 2 dari tempatku berada, duduk seorang anak laki-laki bertubuh gempal sambil memegang buku kecil berbentuk persegi panjang. Aku tau betul, itu adalah Al-Ma'surat, doa-doa yang disunahkan oleh Rasulullah untuk kita baca ketika pagi dan petang. Aku dan bunda selalu membacanya ketika selesai melaksanakan shalat Subuh bersama.
Tiba-tiba bumi terasa berputar. Semuanya terlihat begitu kabur dan buram. Tak terasa tubuh ini pun meluncur jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Tubuhku benar-benar terkapar tak berdaya. Akhirnya, aku merasakan juga bagaimana rasanya pingsan..
Kuacak-acak rambutku untuk mengurangi pening yang kurasakan. Sesekali aku duduk dan kemudian kembali merebahkan diri. Sudah hampir satu jam berada di atap ini, namun tubuh ini tidak juga pingsan. Padahal aku ingin tahu bagaimana rasanya pingsan.
Angin semilir berhembus menyapu tubuhku yang sudah lengket karena keringat. Angin semilir yang segar. Kupenjamkan mata, berusaha menikmati helaian angin semilir. Kubayangkan padang rumput hijau dan barisan pegunungan yang berdiri kokoh menjaganya. Kubayangkan diriku berada di sana.
Di tengah khayalanku, terdengar sayup-sayup suara.
"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'ahaa"
Aaah...
Lantunan ayat yang bunda bisikkan padaku ketika ia menenangkan diriku di atas bukit itu..
Lantunan itu berasal dari sumber suara yang tak asing di telingaku. Suara yang hampir seminggu ini menghiasi indera pendengaranku di sekolah. Suara yang sangat menenangkan dan membuat jiwa begitu tenteram.
Awan..
Aku bangkit dan menengok ke sekeliling. Ya..aku yakin bahwa suara yang kudengar barusan adalah suara Awan. Benar saja. Di arah jam 2 dari tempatku berada, duduk seorang anak laki-laki bertubuh gempal sambil memegang buku kecil berbentuk persegi panjang. Aku tau betul, itu adalah Al-Ma'surat, doa-doa yang disunahkan oleh Rasulullah untuk kita baca ketika pagi dan petang. Aku dan bunda selalu membacanya ketika selesai melaksanakan shalat Subuh bersama.
Tiba-tiba bumi terasa berputar. Semuanya terlihat begitu kabur dan buram. Tak terasa tubuh ini pun meluncur jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Tubuhku benar-benar terkapar tak berdaya. Akhirnya, aku merasakan juga bagaimana rasanya pingsan..
***
Langit...
Langit...
Langit...
Terdengar sayup-sayup suara yang memanggilku. Kubuka mataku pelan-pelan. Kulihat Awan memandangiku dengan tatapan cemas. Tangannya yang satu memegang payung yang melindungiku dari sengatan sinar matahari. Wajahnya terlihat merah merona. Keringat bercucuran melewati kedua pipinya yang tembam.
"Alhamdulillah...kamu udah sadar" katanya dengan nada lega. Kemudian ia menyodorkan botol air minumnya kepadaku. "Ini,sepertinya kamu dehidrasi,untung tidak sampai terkena heat stroke" katanya. Kutegak botol minum yang Awan berikan padaku hingga habis tak bersisa. Awan masih memayungiku laksana pelayan yang melindungi putri dari bahaya sinar matahari.
"Ehm..terima kasih ya sudah menolongku" Kataku padanya
"Sama-sama" Jawabnya sambil tersenyum. Senyuman yang sama seperti yang kulihat setiap bel masuk dan bel pulang berbunyi.
" Oya..aku baru tau kalau kamu juga tinggal di rusun ini. Aku baru pindah hari ini, kamu sudah lama tinggal di sini?" Katanya. Ia masih terus memayungiku walaupun ia sendiri pun terlihat begitu kepanasan.
"Aku baru tiga bulan tinggal disini, oya kamu bisa berhenti memayungiku,aku sudah baik-baik saja kok". Aku tak tega melihat raut wajahnya yang bercucuran keringat karena memayungiku.
"Gak apa-apa kok. Daripada nanti pingsan lagi" balasnya.
Aku amat tersentuh dengan kebaikan hatinya. Ini pertama kalinya ada orang yang rela melakukan sesuatu demi aku selain bunda.
"Kamu sedang apa di sini?" Kataku berbasa-basi dengannya. Walaupun sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang ia lakukan, namun aku berhutang budi padanya dan merasa harus bersikap lebih baik dengannya.
"Aku?..Aku sedang asyik memandangimu.."
Asyik memandangiku?
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar jawabannya itu.
Langit...
Langit...
Terdengar sayup-sayup suara yang memanggilku. Kubuka mataku pelan-pelan. Kulihat Awan memandangiku dengan tatapan cemas. Tangannya yang satu memegang payung yang melindungiku dari sengatan sinar matahari. Wajahnya terlihat merah merona. Keringat bercucuran melewati kedua pipinya yang tembam.
"Alhamdulillah...kamu udah sadar" katanya dengan nada lega. Kemudian ia menyodorkan botol air minumnya kepadaku. "Ini,sepertinya kamu dehidrasi,untung tidak sampai terkena heat stroke" katanya. Kutegak botol minum yang Awan berikan padaku hingga habis tak bersisa. Awan masih memayungiku laksana pelayan yang melindungi putri dari bahaya sinar matahari.
"Ehm..terima kasih ya sudah menolongku" Kataku padanya
"Sama-sama" Jawabnya sambil tersenyum. Senyuman yang sama seperti yang kulihat setiap bel masuk dan bel pulang berbunyi.
" Oya..aku baru tau kalau kamu juga tinggal di rusun ini. Aku baru pindah hari ini, kamu sudah lama tinggal di sini?" Katanya. Ia masih terus memayungiku walaupun ia sendiri pun terlihat begitu kepanasan.
"Aku baru tiga bulan tinggal disini, oya kamu bisa berhenti memayungiku,aku sudah baik-baik saja kok". Aku tak tega melihat raut wajahnya yang bercucuran keringat karena memayungiku.
"Gak apa-apa kok. Daripada nanti pingsan lagi" balasnya.
Aku amat tersentuh dengan kebaikan hatinya. Ini pertama kalinya ada orang yang rela melakukan sesuatu demi aku selain bunda.
"Kamu sedang apa di sini?" Kataku berbasa-basi dengannya. Walaupun sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang ia lakukan, namun aku berhutang budi padanya dan merasa harus bersikap lebih baik dengannya.
"Aku?..Aku sedang asyik memandangimu.."
Asyik memandangiku?
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar jawabannya itu.
***
(masih berlanjut)
masukin an nida aja sar :)
ReplyDeletegak sabar nunggu kelanjutannya mbak.. ^^a
ReplyDeletebagus.. siiip.. renyah..hehehe :p
jadi malyuuu..hehehe..siip...masi nunggu inspirasi dari langit buat lanjutin ceritanya...hehehe
ReplyDelete