Sunday, April 17, 2011

Surat cinta untukmu yang diam membisu di sudut itu..

Assalamualaikum warohamtullahi wabarokatuh..

Teruntuk dirimu yang diam membisu di sudut itu.

Tak terasa setahun sudah semenjak kau tuliskan surat itu padaku. Surat yang berisikan semua amuk asa yang bergelora di dadamu. Tak terasa waktu telah berjalan setahun sudah. Semenjak kau sapa aku-dan juga saudara/i ku- dengan semua keluh kesah penuh harapmu.

Duhai dirimu. Tak terasa setahun sudah terlewat. Tak terasa waktu berganti begitu cepat.

Tak terasa..semua perjuangan itu..semua ghirah itu..semua ikhtiar itu..semua jerih payah yang kami lakukan agar kau tetap tegak berdiri di tengah-tengah kami itu.. kini telah bertransformasi menjadi helaian-helaian memori yang tersimpan jauh di dalam otak. Ya..tersimpan jauh di dalam otak yang menyebabkan munculnya kembali watak asli dari tiap diri kami. Insaan = Lupa.

Duhai dirimu. Tak terasa setahun sudah berlalu. Tak terasa sudah dua generasi baru menyapamu.

Semenjak surat pertamamu itu, tak kudengar lagi sayup-sayup suara lirih curahan hatimu. Kupikir kau sudah akan baik-baik saja. Ya..pada akhirnya manusia langit sana sudah mau menerima keberadaanmu di tengah-tengah kami. Walaupun kau harus terserak di sudut itu..diam membisu..namun, paling tidak kau ADA, pikirku dalam hati. Keberadaanmu sudah AMAN di tengah-tengah kami.

Namun, kemudian kusadari nyatanya rasa nyaman adalah musuh terbesar tiap kita. Ketika merasa nyaman dan aman, di situlah tercipta celah dan kesempatan bagi ular berbisa tuk menerkam. Dan kini ular berbisa itu menerkamku dengan wujud yang sangat halus dan tak terasa. Ketidakpedulian.

Duhai dirimu. Tahukah engkau apa yang kurasa saat ini?

Aku malu.

Aku malu telah melupakanmu. 

Aku malu telah membuat berbagai macam alasan untuk tidak memandangmu, memperhatikanmu.

Yaah..apa mau dikata..tugasku begitu banyak, agendaku begitu padat kawan, tak bisa melulu menyambangimu ketika waktu panggilan mulia itu datang. Yaa.itulah dalihku, seakan terlupa betapa dulu diri ini sangat antusias untuk memperjuangkan keberadaanmu di tengah-tengah kami. 

Selain itu, kini begitu sulit mencari air wudhu. Walaupun begitu ingin ku mendatangimu, namun aku tak berdaya. Air wudhu menjadi barang langka di gedung itu. Mencari air kesana kemari seakan berada di pedalaman Afrika (padahal nyatanya kita berada di tengah kota Jakarta..ckckck). Pernah terpikir di otakku, apakah ini semacam konspirasi? Ketika air wudhu begitu sulit untuk didapat, mau tak mau harus menyapa-Nya di rumah-Nya yang lain, di luar gedung itu. Ketika sudah terbiasa untuk memenuhi panggilan-Nya di rumah-Nya yang lain, perlahan-lahan keberadaanmu sudah tak begitu berarti lagi. Yaa..tapi itu hanya praduga yang terlontar dari dalam otakku,mungkin karena efek terlalu banyak membaca buku-buku mengenai konspirasi sehingga timbul pemikiran seperti itu..entahlah..yang pasti kelangkaan air wudhu itu menjadi salah satu alasan bagiku untuk tak mendatangimu.

Dan kemudian, kulihat dirimu dalam diam. Membisu. Sepi. Jarang terdengar sayup-sayup suara aktivis yang sedang sibuk merancang program-program dakwah. Jarang terdengar sayup-sayup ayat-ayat cinta mengalun indah. Jarang lagi terdengar suara adzan yang mengingatkan kami untuk kembali bersimpuh di hadapan-Nya setelah berlelah-lelah bergelut dengan berbagai macam agenda. Hmm..jarang terdengar olehku. Mungkin karena aku yang tidak memasang telinga dalam-dalam sehingga jarang terdengar..entahlah, yang pasti aku rindu semua itu.

Hey dirimu. Tahukah? Walaupun dalam keterlupaanku akan keberadaanmu yang seharusnya menjadi pusat pengembangan Islam di gedung itu, aku tetap memperhatikanmu, walau jarang terlihat. Tahukah kau, begitu senangnya diriku ketika kulihat kau tertata (lumayan) rapih. Walau sering berubah-ubah tampilan, tapi aku bahagia melihatnya. Khususnya tempat para calon ummahat beribadah kini lebih tertutup dibadingkan awal mulakau berdiri di sudut itu. Namun lumayan miris ketika melihat tempat ibadah para mujahid yang begitu terbuka dan terkadang tanpa alas. Hmm...memang adem sih begitu, tapi kalau hujan, pasti tidak bisa shalat di sana, karena air sudah menggenang membasahi tempat shalat. Air hujan yang kemudian menjadi sajadah bagi para  ikhwan.

Tapi tetap saja, aku masih lega kala itu. Karena bagaimanapun rupamu (hmm..sudah berkali-kali make-over kan dirimu?) kau tetap ADA di tengah-tengah kami. Walau terkadang sedih kulihat ketika kau hanya diam membisu di sudut sana. Terlebih lagi ketika seorang kakak kelas menghampiriku. Memintaku untuk lebih memperhatikan dirimu, karena kini kau sudah memakan korban. Ya, hijab yang mestinya menjadi penjaga itu kini malah melukai. Bukan salahmu tentu saja. Karena apa mau dikata, hijab-hijab itu ternyata tak cukup kuat menahan angin kencang sehingga robohlah ia. Hanya saja, aku khawatir akan makin sedikit orang yang menghampiri dirimu karena takut tertimpa hijab (tak terbayang bagaimana sakitnya si akhwat yang sedang shalat tertimpa hijab sebegitu besar dan beratnya..) 

Hmm..Duhai dirimu. Tahukah?Hatiku meletup-letup penuh emosi ketika kudengar kau akan digusur (lagi!). Alasan estetika lah, menghalagi sirkulasi lah, alasan-alasan yang sulit untuk dicerna oleh nalar otakku. Kenapa harus begitu mempermasalahkan dirimu? Apakah keberadaanmu sebegitu menganggu? Padahal adanya dirimu adalah anugerah bagi kami. Tak peduli sesederhana apapun tampilanmu, namun kau begitu berarti.Di rahimmu lah pergerakan dakwah ini tumbuh di gedung itu. Berawal dari adanya dirimulah,kami berani untuk merajut impian, menyatukan visi, melawan ego pribadi, demi tegaknya kalimatullah di bumi ini. 

Bersamamu, kami tumbuh menjadi pribadi yang baru.

Kami belajar mengeja kehidupan, kehidupan yang terkadang jauh dari angan. Di tengah kepenatan dan kekecewaan, berikhtilat bersama-Nya dengan dirimu sebagai saksinya adalah penawar kegelisahan.

Kami belajar mengeja makna ukhuwah. Bahu membahu bergotong-royong untuk mempercantik dirimu. Menjadikan dirimu layak disebut sebagai rumah-Nya. Walau dibalut dengan kesederhanaan, walau tak ada ornamen megah yang berkilauan. Namun melihat orang-orang merasa nyaman bersamamu, semua peluh yang menetes rasanya tak pernah sia-sia. Terlebih lagi kami melakukannya bersama saudara/i yang kami cinta karena Sang Maha Cinta, tak ada letih dan lelah yang terasa.

Kami belajar mengeja makna ikhlas. Walau  mengeja dengan terbata, paling tidak kami belajar untuk terbiasa untuk tidak melulu tampil di depan layar. Terkadang dengan sebentuk cinta yang sederhana seperti menyapu, mengepel, merapikan sajadah dan mukena, dan hal-hal kecil lainnya membuat kami belajar untuk meresapi makna persembahan cinta pada-Nya, walau sederhana.

Aah..dirimu..banyak hal yang kau ajarkan pada kami. Namun begitu mudahnya kami melupakanmu, sengaja atau tidak. 

Dan kini, setelah hibernasi yang cukup panjang, satu tahun lamanya, Allah kembali menguji komitmen kami. Sejauh mana rasa cinta kami padamu. Sejauh mana hati ini terpaut padamu. Sejauh mana ikhtiar kami untuk kembali memperjuangkan keberadaanmu. 

Memang kuakui, dakwah tidak melulu tentang dirimu, masih banyak agenda lain yang menanti di depan mata. Namun, dirimu adalah pondasi, bukan sekedar fisik keberedaanmu yang tangible tapi lebih kepada ruh dan nafas islam yang berhembus dari paru-parumu, tak terlihat, namun terasa jelas, intangibles.

Dan kini, kembali tiba saatnya pembuktian cinta. Layakkah kami diberikan naungan pada hari akhir kelak karena hati kami yang selalu terpaut padamu?

Semoga..

Salam Cinta karena Allah.

Diriku, si Manusia Penuh Dosa

No comments:

Post a Comment