Maaf aku mempertanyakan ini lagi. Aku masih saja belum paham jelas apa itu ukhuwah. Entah karena kini denyutnya perlahan menghilang, atau karena imanku yang makin lama kian rombengan hingga tak terasa lagi keberadaannya? Aku tak mengerti.
Pada akhirnya, mereka pergi meninggalkan. Mereka yang pergi atau aku? Ah, aku tak tahu. Yang jelas kini aku merasa sendiri. Hanya satu dua orang yang masih kupaksa untuk tetap berjalin sapa, agar aku tidak benar-benar sendiri. Walaupun nyatanya, aku masih saja merasa sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa ukhuwah itu adalah cerminan hati. Aku sepakat dengan pernyataan itu. Pada akhirnya hati yang rombengan bernanah nista penuh dosa ini tak pantas untuk mendekat, atau lebih tepatnya terlampau malu untuk mendekat barang seinchi. Aku diam, hanya bisa diam.
Dulu kita pernah berjalan beriringan, bersama-sama kita merangkai langkah menuju cahaya. Sesekali aku jatuh tergelincir, lalu ada tangan-tangan yang terulur menarikku untuk kembali bangkit berjalan. Sesekali kau yang tergelincir, aku dan dia yang ulurkan tangan untukmu lalu kita kembali lanjutkan perjalanan. Dulu.. Di kala aku merasa paham apa itu yang namanya ukhuwah.
Lalu kini waktu bergulir, dulu bukanlah sekarang. Sekeras apapun aku memutar memori indah a la ukhuwah di masa lampau, tetap saja ia tak akan kembali. Kenyataannya hidup yang harus kujalani ya hari ini, bukan kemarin. Dan akupun tersadar, kini kaki yang berjalan menuju cahaya itu, bergerak kian lamban. Kau dan mereka masih berjalan dengan irama yang sama, masih bergandengan tangan, mungkin terlupa bahwa ada satu ikatan yang melonggar dan terlepas perlahan.
Aku yang bergerak kian lamban. Sangat pelan dan semakin lama punggung kalian mulai terlihat jelas di depan mataku. Aku tertinggal. Aku hanya bisa panik menyadari itu semua, ya aku tertinggal dan tak mampu berteriak memanggil kalian. Semua kata tertahan di tenggorokan. Ada harap besar bahwa kalian sadar bahwa ada aku yang tertinggal di belakang yang menyebabkan suara ini begitu tercekat.
Aku pun masih berusaha berjalan mengikuti langkah kalian pelan-pelan. Mengejar punggung yang masih tak rela kubiarkan menghilang. Kau pun menoleh, betapa bahagianya aku. Aku berharap ada tangan yang terulur kembali. Namun sayang, harapan yang terlampau muluk, karena kau hanya menanyakan kabar yang kujawab hanya dengan keluhan-keluhan mengenai kondisi diriku yang kian memuakkan. Lalu percakapan habis, dan kau mulai kembali berjalan memunggungiku.
Kini aku diam. Energiku sudah habis. Sekeras apapun mengejar, hanya punggung yang terlihat. Aku pun sudah mengikhlaskan punggung-punggung yang menghilang tertelan matahari senja. Aku tak bisa mengejar cahaya bersama kalian. Lalu kini aku benar-benar sendiri, sedang cahaya sudah habis dilumat malam. Aku masih bertanya-tanya dimanakah ukhuwah itu berada, ternyata ia sebatas fatamorgana yang dibatasi oleh fisik semata. Pada akhirnya fisikku sudah habis digerogoti oleh rayap-rayap kekecewaan, perlahan mulai goyah diterjang dinginnya angin malam.
Aku tak percaya, inikah akhir dari semuanya. Aku tak berbuat apa-apa. Membiarkan rayap menggerogoti tubuhku perlahan demi perlahan.
Namun, ketika rayap itu sampai di hati, hati enggan digerogoti. Hati melawan, walaupun ia redup dan kukira sudah amat sekarat, ia tak rela dilumat oleh rayap-rayap kekecewaan. Hati mempertahankan dirinya dengan sisa tenaga yang ia punya, dan rayap pun mampu diusirnya. Aku hanya mampu terduduk, dengan tubuh separuh dan hati yang berdarah-darah. Ah..ini menyebalkan, mengapa tak kau biarkan saja rayap itu ikut memakanmu hati, toh kita kini sendiri, tak ada yang peduli kan? Aku meracau menyalahkan hati.
Lalu hati hanya menjawab: aku hanya tak ingin berputus asa dari rahmat Allah.
Ah..
Akupun sama.
Mungkin aku masih saja belum paham apa itu yang dimaksud ukhuwah sejati. Toh dulu kau pernah bilang padaku bahwa ukhuwah masa kini hanyalah utopia. Ukhuwah sejati hanya mampu dirasakan di zaman Nabi. Aku sempat merasakan nikmat berukhuwah walau pada akhirnya aku tau itu cuma khayalan. Khayalan pun sebegini menyenangkan pada masa itu. Walau hanya fatamorgana, aku masih sangat ingin merasakannya. Bolehkah?
Boleh. Hatiku menjawab. Tunggu saja hingga pagi datang, sekarang mungkin masih terasa gelap bagimu. Tapi nanti ketika sang surya melumat habis malam, kau bisa menunggu rombongan para pencari cahaya lainnya bukan? Kau hanya butuh kembalikan tubuhmu yang hilang separuh dengan aktivitas ruhiyah. Mungkin ketika bertemu mereka, kau masih tak sempurna dan mereka belum tentu menerimamu. Tapi, tetap berusahalah, jangan berputus asa dari rahmat Allah. Yakinkan bahwa kau benar-benar serius ingin meraih cahaya.
Ketika kau sudah mendapatkan cahaya, kau tidak lagi sibuk bertanya-tanya mengenai ukhuwah. Karena cahaya itulah yang akan menjadi teman terbaikmu dalam mempersiapkan diri kembali pulang ke kampung akhirat.
No comments:
Post a Comment