Di sudut kota dia mengumpat. Mencaci semua polusi yang menyelimuti tubuhnya yang berkeringat. Basah. Bau. Tak ada yang ingin mendekat. Menggendong karung berisi sampah yang akan ia tukarkan ke tengkulak. Sampah-sampah yang tidak ada harganya bagi manusia-manusia kota tak beradab. Sampah-sampah yang menjadi tumpuan hidup baginya dan keluarganya yang kini hanya tinggal berempat. Tinggal berempat? ya, setahun sebelumnya berenam ia menjalani hidup di kota dengan angka polusi nomor tiga terberat. Namun, dua anggota keluarganya pergi. Pergi menghadap sang Ilahi. Nasib mereka lebih mujur dibandingkan dirinya, yang tiap hari harus menghela nafas mencari sesuap nasi. Ingin rasanya menyudahi hari, namun bunuh diri? Ah..ia tak berani!
***
Di sudut kota. Umpatan tidak lagi terdengar dari mulutnya. Namun helaan nafas yang tersengal-sengal seakan menjadi irama pengiring perjalanannya. Lelah tuan, lelah nyonya, tatapnya nanar kepada pasangan suami istri yang sedang bercengkrama di atas mobil mewahnya. Bercanda dan tertawa dengan riangnya. Ah, indah nian jika hidup menjadi orang kaya, pikirnya. Lampu lalu-lintas berganti hijau, mobil mewah si orang kaya melaju meninggalkannya sendiri. Menyisakan asap dan debu knalpot yang membuat polusi. Terbatuk-batuk, ia menutupi mulut. Tuhan, aku ingin mati! Matikan aku Tuhan! Teriaknya dalam hati. Putus asa menghadapi hidupnya yang begitu rumit dan sempit.
***
Masih di sudut kota. Tertegun. Terdiam. Memandangi gedung pencangkar langit. Tinggi. Ah, pasti sejuk di dalam sana. Puluhan pendingin ruangan atau yang sering disebut sebagai AC terpasang di gedung-gedung tinggi dan menjulang itu. AC yang katanya merusak lapisan ozon bumi yang kita singgahi. Lapisan ozon yang membuat udara semakin panas dan tak terlindungi. Ah, masa bodo dengan bumi, yang pasti di dalam gedung itu pasti sejuk yang dirasai. Buat apa peduli dengan bumi, toh orang-orang pintar yang mendiami itu tidak peduli. Yang penting sejuk dan nyaman yang dirasai.***
Masih di sudut kota. Ia melihat dan mengamati.
Untuk apa hidup ini? Kenapa Tuhan memberinya kehidupan? Karena ibarat sampah, ia tidak diindahkan. Diacuhkan. Tidak diperhatikan. Dibuang lalu dibiarkan mengendap, membusuk di sudut kota. Manusia juga kah ia kawan? Warga negara juga kah ia kawan? Padahal negara sudah berjanji. Berjanji dalam pasal-pasal yang (katanya) suci. Ah, ini negeri utopis, negeri khayal untuk sebuah kata.
KEADILAN.

"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara."
Pasal 34 ayat (1)
Pasal 34 ayat (1)
No comments:
Post a Comment