Saturday, February 8, 2014

Fajar - Senja

Bismillahirrahmanirrahiim..

Fajar

Kau memiliki banyak impian, namun impianmu itu hanya sebatas omong kosong. Tak pernah kau perjuangkan. Pernahkah kau merasakan seperti itu? merasa bahwa impianmu terlalu jauh untuk kau raih, terlalu pendek tanganmu untuk menggapainya.

Jika ia, berarti apa yang kau rasakan sama dengan apa yang Fajar rasakan.

Fajar bukan orang yang pemalas, ia rela bekerja keras siang dan malam. Namun, ia selalu kesulitan untuk memfokuskan pekerjaannya. Fajar memiliki impian-impian yang besar, impian yang terlampau gila malah. Banyak orang yang menyangsikan impian-impian Fajar, banyak mulut-mulut berisik di luar sana. Sebetulnya Fajar tidak pernah peduli kata-kata orang, ia tak pernah tumbang karena dilecehkan orang lain. Celakanya, Fajar selalu tak mampu berkutik ketika ia dilecehkan oleh dirinya sendiri.

Akhir-akhir ini Fajar menjadi kritikus paling pedas untuk dirinya sendiri. Entah bagaimana ia begitu pandai melemahkan hatinya dan semangatnya. Ia pun menjadi manusia statis, Fajar kehilangan cahaya semangat yang dulu menjadi ciri khasnya. Kecantikannya itu terpancar dari semangat yang biasa ia tularkan kepada orang-orang di sekelilingnya. Namun kini Fajar seperti zombie. Ia menyangsikan kekuatan kepercayaan akan mimpi seperti yang dulu ia sering doktrinkan kepada orang lain. Fajar kehilangan dirinya. Ia selalu memandang aneh pada sosok di depang cermin yang terlihat begitu asing. Fisiknya memang mirip dirinya, Fajarina Permata, namun hatinya entah siapa. Ia selalu mengulang pertanyaan yang sama di depan kaca “kamu siapa? kamu kemanakan Fajar yang dulu?”.

Fajar adalah wanita sejati, begitu lihai dirinya menyembunyikan segala kebingungan dan kebimbangan di dalam dirinya. Ia tetap terlihat biasa d hadapan teman-teman nya, tertawa lebar, bercanda, jalan-jalan, hal-hal yang biasa ia lakukan. Tapi kini ia tak pernah lagi berbicara mengenai impian. Impian itu sudah hilang, tertelan arus kenyataan. Kenyataan yang terlalu pahit untuk diingat hingga Fajar pun memilih amnesia dan berpura-pura seperti tidak ada apa-apa.

Fajar berubah menjadi wanita pembohong yang sangat pandai membohongi diri sendiri.

Ia butuh kembali, ia butuh menemukan dirinya yang dulu. Entah kemana perginya Fajar sang pemimpi yang penuh semangat. Ia kembali bertanya, pada senja keemasan yang memantulkan cahaya berlian di atas permukaan laut. Sudah beberapa bulan ini Fajar menghilang dari peredaran, meninggalkan kota megapolitan yang memiliki kenyataan yang terlampau kejam. Ia akrabi dirinya dengan teman-teman baru. Teluk Kiluan, Pantai Sawarna, Karimun Jawa, dan Gili Trawangan. Merekalah yang menjadi sahabat Fajar sekarang. Tempat dimana fajar bertanya mengenai segala kebingungan kebingungan yang berkerumul di dalam otaknya. Ia tanyakan semuanya pada senja yang berwarna jingga. Ia tumpahkan tangisnya bersamaan dengan debur ombak yang berkejaran. Fajar memang wanita yang cengeng, walaupun tak sering ia tunjukkan air matanya. Ia selalu lihai menyembunyikan bekas tangisan semalam suntuk dengan make up tebal dan senyum yang selalu terkembang.

Fajar mencintai senja, entah mengapa. Waktu peralihan siang yang keras menuju malam yang tenang selalu memikat hatinya. Ia abadikan senja yang ia cintai melalui kuas dan kanvas peninggalan Ayahnya. Ayah yang selalu membuat ia menangis kencang ketika mengingatnya. Gawatnya setiap Fajar melukis, ia selalu ingat ayahnya. Setiap ia mengabadikan senja melalui tarian kuas dan cat minyak, ia selalu menitikan air mata.
Fajar menatap langit pukul 17.30 di pantai berpasir putih di Gili Trawangan. Memotret keindahan senja melalui lukisan lukisan yang ia buat sambil menangis terisak-isak yang membuat cat lukisnya tak jarang bercampur dengan air mata. Fajar menanti senja yang menghantarkannya menuju malam yang penuh kedamaian. Entah kapan kedamaian itu datang menghampiri jiwanya. Ia begitu merindukan gelap yang menenangkan, yang membuat tubuh yang lelah dan penat beristirahat dan kembali pulih berstamina.

Fajar selalu menantikan kedatangan senja..

Senja

Pernahkah kau rasakan hidup terasa begitu membingungkan ? Hidupmu yang kau pikir biasa-biasa saja, tidak ada dinamika, datar, tiba-tiba bergelombang penuh amuk luar biasa? pernahkah?Jika belum pernah, tanyakan pada Senja.

Senja paham betul bagaimana rasanya.

Dan kini Senja menjadi manusia tanpa ekspresi. Karena Senja tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia lelah memandang raut-raut manis yang ia sangka tulus, ternyata semuanya topeng. Ia bahkan tak lagi mengerti apa itu sakit hati, atau bagaimana rasanya bahagia. Ia lupa bagaimana harus tersenyum, ia tak mampu membedakan mana yang senyum ikhlas dan mana yang senyum palsu. Ia pun tiba-tiba amnesia mengenai caranya menangis. Dari dulu Senja selalu benci menangis, karena ia ingat kata-kata Ibunya, laki-laki itu pantang menangis walaupun saat itu Senja masih sering menangis baik di depan Ibu atau terisak sendirian di dalam kamar. Kini Senja tidak lagi menangis. Ia tak tahu apa yang harus ia tangisi, mereka-mereka yang tersenyum palsu itukah yang harus menjadi alasan ia menitikan air mata? atau dirinya sendiri yang terlalu lemah dan tak berdaya. Walaupun Senja benci menangis, sesungguhnya Senja sangat ingin menangis di pelukan Ibunya. Ah, tapi bagaimanapun juga, Senja kini adalah laki-laki dewasa, tak mungkin ia meraung-raung kepada Ibunya yang selalu tampak lelah. Ia tak mungkin kehilangan kendali diri di hadapan Ibu nya itu, sang penipu ulung yang pandai menyembunyikan air matanya.

Senja, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Ia tak bisa ikut-ikutan menggunakan topeng. Terlalu sakit. Bahkan terlalu sakit hingga air matanya menolak untuk jatuh. Senja pergi. Meninggalkan semuanya. Meninggalkan Ibu dan Ayahnya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan teman-temannya. Ia pergi. Ia tak tahan, ia lari, terlalu pengecut untuk menghadapi. Yang jelas, kini ia hanya menghabiskan waktu dari satu gunung ke gunung lainnya. Gede, Papandayan, Sumbing, Bromo, Semeru, dan Rinjani. Mereka lah teman-teman terbaiknya kini. Tak perlu lagi ada kebohongan, tak perlu lagi ada egoisme untuk saling menutupi borok dengan menciptakan borok lainnya. Semua kemunafikan yang membuat ia muak yang tersimpan di kota megapolitan itu ia tinggalkan, ia hempaskan ke tempat sampah. Ia kembali mencari makna. Untuk apa ia ada?

Di puncak-puncak gunung di Jawa dan Nusa Tenggara ia selalu menatap fajar dengan tatapan sendu. Memandanginya melalui lensa kamera kesayangan pemberian ayahnya. Satu-satunya identitas keluarga yang masih ia simpan hingga saat ini. Kamera, yang menjadi teman perjalanan mencari makna. Fajar. Ia ingin bertemu dengan fajar, selalu bersama fajar. Ia ingin segera bersua dengan cahaya mentari. Ia ingin melihat cahaya yang selalu ia rindukan.

Senja masih menatap langit pukul 05.30 di atas puncak Rinjani, menanti sang surya dari bidikan lensa kameranya. Sudah hampir setengah tahun berlewat, namun masih terasa amat hebat getir yang ia rasa. Entah kapan cahaya itu datang menghampirinya.

Senja, begitu merindukan datangnya fajar..

No comments:

Post a Comment