Sunday, May 26, 2013

Dreamy, si penjelajah langit!

Bismillahirrahmanirrahiim...

Berkali-kali ia melemparkan pandangan ke arah keramaian di sudut itu. Sudut dimana orang-orang terlihat begitu bahagia, tertawa dengan riang gembira. Matanya masih memandang malu-malu pada sosok yang menjadi pusat perhatian. Yang sedari tadi tak henti-hentinya bercerita, membuat lelucon dan tertawa. Crowdy. Crowdy yang selalu ramai, senang bercerita dan tertawa.

Seperti biasa, ia selalu merasakan sensasi perasaan yang menyedihkan setiap kali ia memandangi Crowdy. Ia selalu dapat menangkap raut kesepian itu. Kesepian yang sekuat tenaga disembunyikan dengan tawa riang. Loney, kau adalah Loney. Begitu pikirnya. Kali ini pun begitu, ia melihat buliran bening di ujung matanya. Itu air mata kesedihan, teriaknya dalam hati. Ia selalu frustasi melihat sosok yang menjadi pusat perhatian itu berusaha  berkali-kali menutupi air mata kesedihannya dengan gelak tawa yang lebar. Seakan-akan air mata yang tumpah adalah air mata kebahagiaan. Bukan. Itu bukan air mata bahagia, bagaimana mungkin orang-orang di sekitarnya itu tidak merasakan! Ia meluapkan emosinya pada pensil dan buku biru yang selalu setia menemaninya.

Hmmh...Loney yang malang, ia menghela nafas, dan kembali mencuri pandang pada sosok itu.

***

Dreamy, semua orang memanggilnya begitu.

Mengapa? karena dia adalah pemimpi ulung, penghayal kelas kakap. Namun tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa suatu saat impiannya akan berubah menjadi nyata.

Dulu, orang-orang memanggilnya Cowdy-kependekan dari Cowardy : si pengecut. Mengapa sampai padanya julukan itu? Dulu ia begitu penakut. Hanya seorang penakut yang pendiam. Tak ada yang dilakukannya, tidak ada pula yang peduli padanya. Ia hanya duduk termangu di pojokan, menjauhi keramaian. Membuka buku biru dan mulai menggoreskannya dengan pensil coklat tua pemberian ayahnya.

Hanya buku biru dan pensil coklat nya itulah yang menjadi sahabat setia baginya. Tempat ia menumpahkan segala rasa dan asa. Tempat ia berbagi harap dan cita. Ia tak pernah berbagi cerita dengan siapapun, terlalu penakut untuk memulai percakapan. Terkadang ia begitu iri pada sosok yang menjadi pusat perhatian, Crowdy, si ceria yang penuh gelak tawa. Ia ingin seperti Crowdy, tapi tak berani untuk memulai apapun. Jadilah ia tetap menyepi di pojok kesukaannya itu.

Buku biru dan pensil coklat, itu sudah cukup baginya, begitu yang ia pikirkan. Ia hanya bisa merasa hidup ketika membuka buku biru kesayangannya itu. Di halaman pertama, tertulis kalimat mendiang ayahnya, yang selalu menjadi alasan baginya untuk bertahan menghadapi hari-hari yang tak begitu ramah kepada dirinya si pengecut.

"Nak, jelajahilah langit. Terbanglah tinggi mengangkasa"

Ia kembali menggoreskan pensil coklatnya, mulai menumpahkan segala isi otak yang bercampur dengan harap. Ia ingin menyentuh langit, ia ingin mengangkasa, terbang tinggi di antara kawanan burung yang sedang bergegas menuju ke negeri Selatan.

Goresan pensil coklatnya semakin tajam. Ia sudah tidak berada di tempatnya kini. Ia sedang terbang tinggi bersama angan dan mimpi.

Hingga tiba-tiba sang pusat perhatian itu duduk di hadapannya. Menyuguhkan senyuman dan bertanya "kamu sedang apa?" Ia yang sedang melanglang tinggi terjatuh seketika. Wajahnya berubah merah merona. Ini kali pertama ada yang menyapanya sebegini ramah, sambil tersenyum pula. Terlebih lagi yang sedang duduk di hadapannya ini adalah 'Si Crowdy', pusat perhatian yang banyak dikagumi.

Darahnya mendidih. Adrenalinnya beracu dengan cepat, keringat mengucur membentuk air terjun melewati pelipis wajahnya. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya, pojok yang menjadi tempat favoritenya. Meninggalkan Crowdy yang mengeluarkan ribuan tanda tanya atas sikapnya barusan. Crowdy tak mengerti apa yang salah dari sikapnya. Ia hanya mencoba untuk ramah, seperti yang ia lakukan pada semua orang di tempat ini.

Ia berlari sekuat tenaga. Berlari berkejaran dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Wajahnya masih merah merona, terbayang senyuman Crowdy yang cantik jelita. Ah, ada apa dengannya. Bukan rasa takut seperti yang biasa ia rasa ketika berhadapan dengan manusia. Ini apa? Ia masih bertanya-tanya.

Hingga pada akhirnya ia kelelahan. Terduduk dibawah pohon yang rindang dan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya masih berdetak kencang, namun ia sudah dapat mengendalikannya kini. Ia pandangi langit, langit yang menjadi kecintaannya.

Lalu tak lama ia tersentak. Buku biru kesayangannya tertinggal di tempat itu. Ia menunduk lesu.

***

Crowdy membolak balik buku biru yang tertinggal di meja tempat Cowdy paling sering menghabiskan waktunya. Ia membuka tiap lembarannya dengan penuh kekaguman. Luar biasa, bisiknya dalam hati tiap kali ia membaca baris huruf yang tertulis di dalamnya. Di lembar terakhir yang terisi, matanya terbelalak melihat sketsa yang dibuat oleh Cowdy. Ia tersenyum lebar, antara kagum dan tak percaya bahwa di pojok yang jarang diperhatikan orang, lahir sebuah mahakarya luar biasa.

Cowdy, impianmu itu luar biasa. Kau sang penjelajah langit!
Berkali-kali ia ucapkan kalimat itu dalam hatinya.

No comments:

Post a Comment